Selasa, 03 Desember 2019

Wanita yang menyejukan jiwa


Perempuan Cahaya Bila ada sesuatu yang paling indah di muka bumi ini, itulah   perempuan. Ia serupa gemintang yang tergantung di langit, lalu kelap kelipnya dikagumi penduduk bumi. Semakin terang cahayanya, semakin banyak wajah-wajah yang menantinya di malam gulita.Hari ini masih menjadi hari-hari biasa, seperti seminggu, sebulan hingga setahun yang lalu. Aku merawat perempuan-perempuanku di balik etalase kaca. Berjam-jam waktuku habis menemani perempuan-perempuanku untuk sekedar memilih bahan baju, aksesoris dan aneka bros-bros cantik lainnya.

Aku ingin perempuanku tampil dengan pesona. Seperti jelitanya pagi yang basah dalam embun yang bening. Lalu disambut cahaya keemasan matahari sebagai lampu penerang perempuan-perempuanku. Mereka akan tampak kian dara dalam balutan busana-busana yang kurancang. Tak lupa kuoleskan warna-warna kesukaan mereka di bagian wajah hingga lentik-lentik kuku yang berjejer. Itulah perempuanku, yang kukagumi sepanjang hari. Di balik kaca ini kulihat perempuanku begitu sempurna. Kutambahkan bagian kerudung yang menjuntai dengan bahan crape bertabur bunga-bunga besar berwarna ungu. Itu kesukaan perempuanku.

Lalu sebuah bros cantik lebar dari bahan satin yang dilingkarkan di sebelah kiri dada. Seperti bunga mawar yang merekah. Perempuanku yang selalu menjadi pujaan orang-orang yang menemui pagi. Mereka berjalan melintasi ruang kaca tempat aku dan perempuanku mematuk diri. Sambil curi-curi pandang, mereka menunjukkan wajah terpana. Ada yang berdecak ada juga yang dengan berani berjalan mendekat, menatap lama perempuan-perempuanku. Alangkah bahagianya, mereka begitu takjub dengan apa yang ditatap. Aku berpikir, begitu lihainya tanganku mempercantik perempuanku. Dengan warna-warna indah yang dilekatkan pada kulit-kulit bersih, tiada pemandangan yang lebih menawan ketimbang perempuanku.

Matahari yang kian memutih menyemburatkan cahayanya di dinding-dinding kaca, perempuanku kian berkilau. Dan tiada siapa yang berlalu di depan etalaseku melainkan wajah mereka mengangguk-angguk, terpukau, mereka tak lagi bergegas dalam langkah, mereka seolah enggan menggerakkan kaki dan hanya mampu berkata, ‘cantik’. Aku tentu saja bangga pada perempuanku. Seperti mata intan  zaman yang menawan  semua mata yang memandang. Apatah  lagi laki-laki, yang bujang maupun yang ubanan telah menyinggahkan tatap pada perempuan-perempuan yang kujaga. Semenjak pagi hingga petang hari, tiada yang alpa untuk sekedar melongok ke balik etalase.

Nona, kau cantik sekali.” Seorang laki-laki dengan wajah kasar menatap dalam keterpesonaannya pada perempuanku. “Hai Pak, jangan dekati perempuanku, mereka butuh uang untuk cantik, kau punya?”“Hanya ada sepuluh ribu, bagaimana?”“Kau kira perempuanku rokok? Pergi sana!”Aku memang kesal pada lelaki yang tak menghargai perempuanku. Mereka ingin yang indah tapi mereka cuma bawa dengkul saja untuk memilih perempuanku, tentu saja aku marah. Untuk cantik butuh uang, memerahkan bibir butuh uang, memutihkan pipi juga butuh uang, apalagi berpakaian dengan benang-benang halus nan pilihan, semuanya tentu saja butuh uang. Jika sudah kesal aku hanya terdiam sambil menatap jalanan.

Mataku memandang jauh pada kerumunan orang-orang yang berjalan di kota tua tempat aku bekerja. Sejenak mataku beralih dari perempuan-perempuanku. Menatap hiruk pikuk orang-orang bersepeda ontel dan kereta. Tiba-tiba mataku tertumpu pada seraut wajah perempuan. Ia sangat cantik dan wajahnya berkilau mengeluarkan cahaya. Aku penasaran, lalu bangkit menuju ke jalan. Aku terus melangkah mengejar kaki perempuan itu yang berjalan satu-satu. Wajahnya sungguh bercahaya, belum pernah aku melihat keindahan wajah seperti itu. Meski telah bertahun-tahun aku menunggui perempuanku di etalase, sungguh perempuan berwajah emas ini sesuatu yang baru di mataku.

Kupercepat langkah menyusuri jalan, aku tak bisa melihat wajah perempuan itu melainkan hanya kain panjang menjuntai di bagian belakang tubuhnya. Ia berjalan dengan wajah tertunduk, dengan langkah yang tegas dan terarah. Aku harus tahu siapa perempuan itu dan kenapa wajahnya bercahaya. Aku sulit menerka bagaimana postur tubuh perempuan itu, meski ketinggiannya terbilang biasa, tetapi apakah tubuhnya gemuk atau langsing aku sulit melihatnya. Gaunnya begitu lebar dan memanjang. Bagian belakang tubuhnya yang biasa menampilkan pinggul perempuan tiada tampak sama sekali. Bahkan aku tercari-cari, dimana kaki perempuan itu disembunyi. Kaki yang mungkin saja sangat halus dan putih karena tiada sengatan matahari. Aku hanya melihat balutan kain berwarna kulit pada batang sandal swallow yang ia pakai. Telapak kakinya berjalan cepat, dan aku harus menguras tenagaku untuk mengikuti langkah-langkahnya.

Perempuan itu terus saja berjalan, tanpa menoleh, tanpa memandang ke arah manapun. Aku semakin penasaran. Saat jalanan mulai sunyi, aku sadar kini telah berada di tepian kota, tiada siapa di tempat ini. Aku hanya mampu memandang perempuan dengan wajah bercahaya itu terus saja berjalan dengan cepat. Kuikuti terus langkah-langkahnya hingga masuk ke sebuah lorong panjang yang selama ini tak pernah kulihat. Lorong itu gelap dan hitam, dindingnya terbuat dari cadas yang berlumut. Hanya ada cahaya remang-remang dari beberapa lilin yang ditenggerkan di bagian atas lorong. Tetapi perempuan itu tetap berjalan dengan cepatnya. Langkahnya seolah tiada terusik dengan suasana gelap di sekitarnya. Cahaya di wajahnya menjadi setanggi yang menerangi lorong-lorong panjang. Nafasku tersengal-sengal, tubuhku berkeringat dengan nafas yang sulit di kegelapan. Perempuan itu sama sekali tak pernah berhenti barang sedetik pun.

“Nona, tunggu…siapa kau? Aku mengikutimu sejak tadi.” Akhirnya kukeluarkan suaraku karena letihnya, berharap perempuan itu akan berhenti dan berbicara padaku. Dan ternyata benar, perempuan itu menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arahku. Seberkas cahaya yang sangat terang menyilaukan pandangan, aku tak mampu melihat wajahnya. Untuk beberapa menit cahaya itu berputar-putar dan berkilau-kilau di dihadapanku. Tetapi tak ada sedikit pun suara yang kudengar. Lalu perempuan itu memalingkan wajahnya lagi. Kakinya kembali berjalan dengan amat cepat. Ia sama sekali tak bicara padaku. Dan tak ada pilihan lain di dalam kegelapan yang temaram itu selain mengikuti kemana langkah perempuan itu akan berakhir. Rasa penasaran telah memenuhi hatiku, dan pantang bagiku untuk mundur ke belakang.

Cukup panjang lorong itu, sampai akhirnya seberkas cahaya matahari terlihat dari pandangan, yang menandakan lorong telah berakhir. Perempuan itu berjalan menuju sebuah pagar besar yang terbuat dari batu yang disusun cukup tinggi. Ia berjalan lebih pelan dari sebelumnya.Aku terus berjalan mengikutinya. Ia membuka sebuah pintu gerbang dengan tulisan bahasa arab yang tak ku mengerti. Aku sempat takut perempuan itu akan menutup pintu, tetapi ia membiarkannya terbuka. Seolah mempersilahkan aku mengikutinya. Perempuan itu terus berjalan, ia menuju sebuah bangunan  megah dengan lantai pualam yang mengkilap. Bangunan itu memiliki kubah-kubah emas yang besar dan menjulang. Lalu bagian dalamnya sangat luas dengan tiang-tiang besar dan lampu-lampu hias berwarna emas berbentuk bunga-bunga.

Sebuah tirai hijau daun terbentang panjang dan melebar pada bagian tengah bangunan itu. Perempuan itu berjalan lalu duduk di balik tirai hijau yang lembut. Perempuan itu berdiri, lalu membungkukkan tubuhnya, berdiri lagi, lalu bersujud di lantai. Untuk beberapa menit perempuan itu mengulang-ulang gerakannya. Setelah gerakan terakhir, aku sangat terkejut. Dari balik tirai hijau tiba-tiba muncul puluhan perempuan-perempuan yang sama dengan perempuan yang kuikuti tadi. Wajah mereka bercahaya, gaun mereka lebar dan menjuntai, sementara kaki-kaki mereka dalam sembunyi yang tak terlihat oleh mataku. Perempuan-perempuan itu duduk melingkar. Di tangan mereka tergenggam sebuah lembaran kertas seperti buku yang juga berkilau warnanya.

Seperti ada ukiran huruf-huruf arab di bagian depannya, tetapi aku sama sekali tak mengerti. Salah seorang diantara mereka bersuara dengan alunan nada-nada arab yang juga tak kumengerti. Suara perempuan itu sangat indah, bahkan kemudian suara-suara itu bersambutan, saling silih berganti bersenandung dengan indahnya. Aku kian terpana. Memandang perempuan-perempuan berwajah emas itu dengan kesima yang sangat. Aku tak dapat lagi membendung rasa penasaranku. Aku ingin tahu, siapa perempuan-perempuan ini, tempat apa ini, kenapa aku baru melihat perempuan-perempuan serupa ini. Aku berjalan mendekat, lalu tiba-tiba mereka menghentikan suara-suara mereka. Padahal aku sangat berharap bisa mendengar suara mereka dengan lebih dekat.

Nona-nona, kalian siapa? Tempat apa ini? indah sekali, bolehkah aku bersama kalian di sini?”
Perempuan –perempuan itu terdiam, bahkan sebagian menundukkan wajah. Aku tak tahu kenapa mereka begitu, mungkin saja mereka tak suka padaku. Tetapi perempuan yang berjalan dan kuikuti tadi datang mendekat ke arahku. Aku seperti melihat bidadari turun ke bumi. Wajah perempuan itu sangat cantik dan bersih. Kecantikan yang tak pernah kutemukan pada perempuan-perempuanku di etalase. Aku melongo, mataku terbuka lebar dan mulutku terbuka, tak percaya dengan keindahan yang kulihat. Perempuan itu hanya berhenti beberapa meter di hadapanku. Cahaya wajahnya masih begitu terang dan aku tak bisa membayangkan lagi, bagaimana keindahan suara perempuan bercahaya itu.“Nona, siapa kalian? Bolehkah aku berkenalan?”

Tak ada jawaban sama sekali. Tak ada satupun perempuan-perempuan itu menjawab. Bahkan kulihat sebagian pipi perempuan di hadapanku bersemu merah jambu. Benar-benar pesona yang tak terbilang indahnya. “Nona tolong lah, aku ingin sekali tau tempat apa ini? kenapa wajah kalian bercahaya? Kenapa aku tak bisa melihat bentuk tubuh kalian? Apa yang kalian pegang dan bercahaya itu? tolong lah Nona, aku akan sangat berterimakasih dengan bicaramu.”Perempuan itu tak juga menjawab. Ia justru mengambil sesuatu dari balik gaunnya yang lebar. Sebuah kain dengan benang-benang yang halus berwarna biru. Kain itu dihulurkannya ke arahku. Dengan ragu kuterima kain itu.

Aku mundur beberapa langkah untuk menghulurnya karena terlalu panjang, tetapi kain itu masih juga terlalu panjang hingga aku terpaksa mundur lagi puluhan meter. Kain itu terus saja memanjang seolah tiada hujung. Aku terus berjalan mundur untuk memastikan kain itu habis ujungnya. Terus saja sampai aku kembali masuk ke lorong hitam yang panjang. Terus lagi hingga aku memasuki jalanan sempit yang suci. Ternyata kain itu tak juga kunjung habis hingga aku masuk di keramaian kota yang begitu hiruk. Aku terus saja menariknya namun seolah tiada hujung. Hingga aku tak melihat lagi perempuan berwajah cahaya yang begitu banyak kulihat tadi. Perempuan itu telah jauh di hujung kain yang ia hulurkan. Aku masih terus saja mundur ke belakang dengan kain biru nan panjang. Tiba-tiba tubuhku seperti terbentur benda keras. Aku menoleh. Rupanya etalase kacaku.

Aku telah tiba di etalase kaca tempat perempuan-perempuanku yang cantik. Tetapi aku tersentak. Aku melihat etalaseku telah penuh dengan perempuan-perempuan yang kurawat di pagi hari, tetapi mereka telah berubah. Seorang perempuan dengan pakaian mini berdiri dengan bibir yang merah dan seksi, ia berbicara panjang tak jelas kesana kemari.“Lelaki sialan, katanya mau ngajak nikah tapi cuma ambil isinya doang,” perempuan  itu terus mengomel sambil menunjuk-nunjuk ke arah  luar etalase kaca. Memaki setiap pria yang melintas. Aku berjalan lagi dan melihat seorang perempuan yang sibuk dan menumpuk-numpuk tas, jam, pakaian hingga lipstik. Perempuan ini juga salah satu dari perempuan yang kurawat di pagi hari.

Suami macam apa dia, katanya mau membahagiakan istri tapi dimintain duit buat shopping aja susah.” Perempuan itu mengomel sendiri sambil terus berdandan dengan make up tebal. Di sudut-sudut ruangan yang lain aku juga menemukan perempuan-perempuan telah berubah. Mereka tak lagi memakai gaun panjang yang kupakaikan di pagi hari. Mereka telah sibuk dengan kata-kata kasar dan pakaian-pakaian seksinya. Aku terduduk lesu di sudut ruangan. Perempuan-perempuan yang mengomel itu sama sekali tak ada seorang pun yang menyapaku, atau sekedar menegur sebagai orang yang telah mempercantik mereka sepanjang hari.

Tiba-tiba aku teringat lagi pada perempuan-perempuan  berwajah  cahaya yang kutemui di tempat megah tadi.  Mereka lebih cantik dari perempuan-perempuanku, mereka lebih anggun dari perempuan-perempuanku. Aku melihat jemariku, pada kain biru yang diberikan perempuan itu.   Ada simbol-simbol yang tak kupahami dalam kain panjang itu. Semakin lama semakin besar memenuhi kain yang kupegang. Dan tiba-tiba beberapa perempuan di sekitarku melambai-lambai pada kain itu, mereka seperti minta tolong. Ada yang menangis, ada yang menjerit. Tetapi kakiku terasa kaku, aku tak mampu bergerak lagi. (Oleh: Nafi’ah Al-Ma’rab/ Menulis novel, cerpen dan essay, tinggal di Pekanbaru. Bergiat di FLP Riau)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar