Selasa, 03 Desember 2019

Aku adalah sebuah perubahan


Aku rasa semua manusia paham teori ini, rasa selalu bermula dari mata lantas turun kehati. Menyebar melalui arteri dan vena, akhirnya bermuara di jantung dan akhirnya berdetak. ‘deg’...Lalu… apa ini juga dinamakan rasa? Ketika hanya membaca simpul senyum dan meraba beberapa bait cerita darinya lantas menjatuhkan hati. Ah bukan… mungkin hanya jatuh hati pada senyumnya atau mungkin karena rasa kagum yang menggebu-gebu…tapi?” Masih dalam suasana tahun baru, kembang api sesekali masih menghiasi langit kota Solo yang indah tiada tara. Malam ini,  salah satu resolusi 2015 yang sengaja aku buat berhasil terwujud salah satunya. Yaitu, jalan bareng Mitokondria. Walau bersama banyak orang tetap saja namanya jalan bareng bukan?

Banyak orang mengeluarkan teorinya, salah satunya “ jika kau mempunyai impian atau cita-cita, tulislah di selembar kertas dan letakkan kertas tersebut ditempat yang bisa kau lihat sepanjang hari”. Dan tahun ini, aku menulis 15 resolusi besar yang ingin aku capai. Alhamdulillah, salah satunya terwujud. Aku masih menerka dan menelisik kemana Allah akan membawa diriku nantinya. Resolusiku yang tercapai pertama kali adalah tadi sudah saya sebutkan.  Mitokondria adalah seseorang yang selalu menginspirasiku, dia bisa jadi penyemangat bagi orang lain walau aku tahu sebenarnya dia memiliki beban yang berat juga. Tetapi dia memilih untuk tegar dan menghadapinya dengan senyum dan semangat ala dirinya sendiri.

Aku juga tak tahu, kenapa ada manusia ajaib seperti dia. Malam ini, dia duduk disampingku. Aku agak canggung waktu awalnya, tetapi aku beranikan diri untuk menyapanya dan menanyakan sedikit mengenai skripsinya.  Ngobrol dengan Mitokondria sama halnya seperti membaca buku. Karena setelah ngobrol dengannya banyak hal yang didapat. Baik itu materi biologi maupun budaya sosial masyarakat masa kini. Bisa dibilang dia perpustakaan berjalan. Aku senang bila ada didekatnya, entah mengapa rasanya sejuk aja. Tetapi, aku tahu. Dia sudah punya seseorang didalam hatinya. Perasaanku padanya juga hanya sekedar kagum. Dia hanya ada dalam imajinasiku saja.

Pada kenyataanya, dia tak pernah sekalipun memperhatikanku. Menanyakan kabarku saja tak pernah. Sesekali aku mencoba mengirim pesan padanya, sekedar menghilangkan rasa jenuh yang kadang melanda. Karena dia pernah bilang, kalau lagi jenuh lakukan hal-hal yang kamu senangi. Nah dengannya aku menjadi senang. Banyak hal yang aku dapat dari dia, tetapi tidak banyak hal yang dia dapat dari aku. Kecuali, gambar yang aku kasihkan kepadanya ketika aku semester 1 dulu.  Rintik hujan menyapa sekujur kota Solo senja ini. Meredamkan semua ambisi panas para pemiliknya.
Layaknya semua insan bernyawa yang lain, setiap yang bernapas tentulah memiliki harapan tentang apa yang diinginkan, sekecil apapun itu.

Jangankan manusia, makhluk paling sempurna yang diciptakan pemilik semesta untuk menjaga bumi ini, tumbuhan pun yang kelihatannya hanya diam dan diam ternyata juga punya mimpi, setiap hari mereka berusaha mewujudkannya. Berfotosintesis, menghasilkan buah-buah yang segar, tumbuh rimbun dan bermanfaat bagi yang lainnya, bersedia membagi oksigennya untuk kita, manusia.Ada beberapa orang didunia ini yang mampu menginspirasi orang lain dengan karisma yang ia pancarkan dari dalam diri karena kelembutan dan kerendahan hatinya yang telah menyihir banyak orang, mungkin aku berlebihan jika harus menulis ini untukmu. Akan tetapi ada beberapa alasan yang menjadikanku berani menulis ini dan mempublikasikannya. Bukan bermaksud mencari sensasi atau apa, tetapi aku tulus menulis ini untukmu. Untuk seseorang yang bisa menginspirasi perjalanan hidupku selama aku berpredikat sebagai mahasiswa.

Pertama aku bertemu dengannya ketika PPA, dia menjadi salah satu korlap. Sebelumnya aku tak tahu dia jurusan apa dan semester berapa. Namun, seperti mahasiswa baru lainnya, aku hanya diam ketika melihatmu, karena waktu itu kita tak saling kenal. Lantas memasuki hari terakhir PPA kau masuk dikelas biologi bersama 5 temanmu dan kau berkenalan, yang aku ingat saat itu kau hanya diam dan menahan tawa haha, karena tuntutan tugasmu saat itu. Ya aku cukup paham. Setelah itu selang beberapa hari ada pendaftaran praktikum di lab. Ketika itu aku masih ingat kau pakai kemeja cream garis-garis dan lengan pendek. Sudah seperrti biasanya aku hanya diam dan sedikit melempar senyum untukmu, begitupula kau.

Sejak saat itu entah kebetulan atau bagaimana kita sering bertemu, ketika itu aku kebali berteu denganmu dan aku meberanikan diri untuk bertanya denganmu, saat itu kaulewat dekat kantin belakang HMP PGSD, aku stop jalanmu dan aku tanya “kak, minggu ini sudah mulai  belum praktikumnya?” lantas dia menjawab “belum dek, sering-sering lihat mading lab saja yaa” kata dia.  Namanya Dika, Mahardika Nayantaka.“ Mil, Milaa…” Sarah membuka pintu kamar kos Mila, langsung masuk. Betapa terkejutnya dia, dinding kamar berukuran 3x3 meter itu hampir tidak kelihatan dasarnya. Penuh dengan tempelan gambar yang sebagian tidak jelas karena hasil cetakan yang jelek. “ Ya Allah, ya Kariim… ini dinding apa mading Mil?”

Mila tertawa kecil. Tangan kanannya memegang lem sambil melihat lihat dinding temboknya, mencari celah untuk menempelkan sticky note bertuliskan Sydney.“… sempurna.” Mila berhasil menempel kertas itu, seperti menikmati hasil karyanya.“Hahaha… Mila… mila… aku tahu kau gadis yang rajin, tapi kita ini tak secerdas dan se-kaya mereka-mereka, mimpimu itu terlalu tinggi. Lihat realitasnya. Kita belajar, berangkat kuliah barangkali hanya ditakdirkan untuk menjadi buruh para penguasa Negeri ini bukan?”Mila tertawa, sekedar menguatkan mimpinya.Mentari tenggelam di ufuk barat, merubah warna langit menjadi jingga. Menandakan bagaskara sebentar lagi muncul diiringi venus yang setia bersamanya.

Yang akan membuat semua mata terpejam karenanya. Malam. Tapi itu itu sudah berlalu, kini sang fajar mulai datang menyapa, fajar yang akan menciptakan semangat baru bagi orang-orang yang menikmatinya.Burung-burung menari riang diatas dahan yang hampir rapuh tergerus angin.Hari ini, seperti biasa Mila pergi kekampus dengan sahabatnya Sarah. Belajar, memberi nutrisi pada otaknya yang hampir seminggu ini mengalami gizi buruk karena selalu memikirkan pujaan hatinya. Mahardika. Kakak tingkat Mila, seorang lelaki dengan sejuta karisma. Tak ada yang bisa menolak wibawanya. Senyumnya, bicaranya selalu menjadi hiburan tersendiri bagi Mila. Sarah, mati aku. Lihat itu…” Mila tertunduk malu, berpegangan pada Sarah.

Pipinya merah merona bak buah apel yang siap petik. Mahardika, pujaan hatinya yang selama ini ia kagumi berjalan berpapasan dengannya. Hanya ingin lewat, dan melempar senyum manis pada mereka berdua.“ Mil, kamu kenapa? Tiap lihat kak Dika kamu jadi salah tingkah gitu… kamu naksir yaa, ngaku! ” Sarah mengejek genit. Mila malu-malu, menyembunyikan perasaannya . “… tau ngga Mil, dia itu cowok multi talent loh. dia itu juara di berbagai even dikampus, mahasiswa berprestasi tahun ini. Banyak juga yang ngefans sama dia.” “ masak..?” Mila tersenyum pahit, mengangkat alis matanya. Menimbang perasaannya yang terlanjur ia sematkan ke Dika, seseorang yang selama ini ada di mimpinya. Selama ini Sarah tak tahu kalau

Mila sebenarnya naksir dengan kakak tingkat yang satu itu. jangan sampai kamu naksir dia Mil, wuihh… bisa-bisa nih kamu nanti dikeroyok cewek sekampus” Sarah menambahi wejangannya.Mila merapikan kembali perasaannya, berpikir ulang tentang perasaan yang selama ini ia pendam.Dia hanya bisa menulis bait-bait rasanya, mempublishnya dan berharap besuk sang pujaan hati Dika, akan membacanya. Sekarang semangat belajar Mila bak genderang perang yang baru dikumandangkan, seperti layaknya ribuan serdadu yang menunggangi kuda yang berlari dengan cepatnya. Maju melawan musuh dengan kekuatan yang sempurna. Layaknya biji yang baru tumbuh, menjalar menuju langit menghirup oksigen pertamanya.Lithayyibina tayyibati.

Itu yang selalu terbayang dalam benak Mila, bahwa lelaki yang baik memang ditakdirkan untuk wanita yang baik. Sang Pencipta semesta telah menjanjikan itu untuk semua orang yang berdetak jantungnya karena cinta.Tempelan tulisan-tulisan itu semakin memenuhi dinding kamar Mila. Berbaris bersesakkan, membingungkan. Impian yang mustahil dicapai oleh seorang cewek yang tidak terlalu pandai sepertinya. Berusaha, bermetamorfosis. Cinta membuat biji kecil itu berani bermimpi menuju langit. Bukankah tugas kita hanya bermimpi dan mempunyai harapan? Yang selanjutnya akan menumbuhkan semangat-semangat juang. Impianlah yang menjadi pupuk-pupuk semangat itu, yang menjadikan mimpi dan cita cita tumbuh subur dan berkembang.
Sarah mulai kehabisan kata.

Mila, selamat ya… hari ini kau hampir berhasil mencontreng semua tempelan sticky notes di dindingmu yang hampir tak kelihantan dasarnya itu. Aku turut bangga melihatmu berhasil, guys. Tinggal satu lagi, Sydney.” Sarah tersenyum, salaman memberi selamat pada sahabatnya.
Mila. Cewek yang dulunya biasa dan dipandang sebelah mata kini telah bermetamorfosa menjadi kupu-kupu yang menarik perhatian orang-orang karena perjuangannya. Selama ini, dia mereparasi semua system yang ada pada hidupnya. Caranya belajar, cara ia memandang kehidupan.
“ Sarah, mati aku. Lihat itu…” langit-langit hatinya mulai bervibrasi. Mila tertunduk malu, berpegangan pada Sarah.

Pipinya merah merona bak buah apel yang siap petik. Mahardika, pujaan hatinya yang selama ini ia kagumi berjalan berpapasan menuju dirinya. Hanya ingin lewat.Kehidupan Mila berubah, tapi tidak dengan yang satu ini. Mahardika. Yang sejak dulu mengalihkan retina matanya, memaksanya berlama-lama menatap mata yang tajam itu. Yang membuat pipinya merah merona kala berpapasan.Malam itu, entah angin apa yang berhembus pada Mahardika. Mungkin do’a Mila tentang yang satu itu telah sampai ke muara pengabulan milik Sang Pencipta. 21.45. “Mil, udah tidur?” Mila melompat dari tempat tidurnya, hatinya buncah membuka pesan singkat dari Mahardika. Mila tak segera membalasnya. Ia masih menikmati tulisan singkat itu. Senyum.“belum kak, knapa?” Mila sedikit kaku membalasnya.“ besuk temui aku ya, ada yang ingin aku bicarakan.” Balas Dika cepat.

Tak bisa dibayangkan betapa bahagianya Mila saat itu. Ia menyangka bahwa Mahardika juga mempunyai perasaan yang sama sepertinya. Tiba-tiba angin menyanyikan lagu untuknya, menghembuskan spora yang nantinya akan tumbuh menjadi tumbuhan cinta. Daun-daun juga tak mau kalah, ia menari bak ballerina diiringi angin yang membawa spora. Dan hari itu pun tiba. Dengan langkah yang malu-malu dan detakan jantung yang lebih cepat dari biasanya. Mila menaiki tangga dipelataran lantai dua, antara laboratorium dan perpustakaan. “ kak Dika, kemarin sms suruh nemuin kakak, ada apa ya?” suaranya gemetar putus-putus, aliran darahnya seakan berhenti.Angin berhembus begitu saja, mencairkan suasana yang hampir membeku.

Ternyata hari itu Mahaika mengajak Mila untuk membuat project penelitian yang tengah ia garap. Mila malu dengan persepsinya sendiri. Dia tersenyum pahit. Tapi, kini tak terasa ratusan senja telah mereka lewati bersamaan dengan penelitian itu. Penelitian yang akhirnya membuat ruang hati mereka berdua saling terbuka. Iya, benar-benar terbuka. Penelitian yang mereka kerjakan telah rampung dan berhasil di presentasikan. Mereka benar-benar berhasil. Penelitian mereka dilirik salah satu perusahaan di Australia. Dika, yang saat itu sudah akan di wisuda tak bisa melanjutkan penelitiannya, kini tinggallah Mila yang harus berjuang. Sydney.

Mila, ingatkah kau…?” pancing Dika membuka percakapan yang sama persis diucapkan kala mereka berada ditempat itu, saat rintik-rintik hujan yang manis perlahan jatuh menembus bumi. Percakapan menjelang senja yang akan mengantarkan mereka berdua kepada malam. Percakapan yang sebenarnya tak pernah diketahui kapan mulanya apalagi akhirnya. Dipelataran lantai dua, antara perpustakaan dan laboratorium. “ ingat kan?”“Ini senja keseribu yang sudah kita lalui bersama.”Mila tersenyum malu. Perlahan ingatannya berotasi, mengingat saat pertama ia menginjakkan kakinya dipelataran lantai dua, antara perpustakaan dan Lab.

Dengan semangat yang meluap-luap dan langkah yang malu-malu. Berharap bertemu dengan pujaan hati yang selalu ia tulis dalam bait puisinya, seseorang yang selama ini ada disetiap baris lembar buku hariannya. “andaikan kau tak mengajakku membuat project penelitian itu, mungkin…”“sudahlah Mil, kau telah berhasil bermetamorfosa. Bukankah ini impianmu?  Sydney...” Mahardika tersenyum.Mila berjalan menuju pintu perpustakaan, meninggalkan rajutan senyum dengan dekik dipipinya. Sementara Dika, dia masih menikmati rintik-rintik hujan yang mungil, senja itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar