Selasa, 03 Desember 2019

Hujan Batu di Rumah Tanggaku


Hari ini tepat satu tahun usia pernikahanku dengan Bram, suamiku. Waktu yang cukup singkat, namun menyisakan banyak luka dan air mata. Tapi aku tetap percaya dengan kekuatan cinta, sebab cinta lah yang membuat aku bertahan dari kata-kata orang. Cinta lah yang terkadang membuat aku berpikir di luar logika semua. Dan aku tetap percaya dengan kekuatan itu. Kekuatan yang akan menyatukan aku dengan suamiku hingga ujung usiaku kelak. Satu tahun yang lalu, aku mengenal seorang lelaki melalui proposal yang diberikan guru kajian pekananku. Sebuah kertas sederhana yang berisi harapan-harapan biasa seorang pria yang sudah berusia lanjut. Hanya satu malam kertas proposal itu kuendapkan di dalam ransel hitamku. Keesokan harinya, seperti ada kekuatan besar yang akhirnya mendorongku untuk langsung menghubungi guru mengajiku.

Kak, Insya Allah saya putuskan oke dengan yang ini,” ujarku mantap. Di seberang sana guru mengajiku itu terdengar sangat gembira dengan keputusanku.“Subhanallah, secepat itu Lis?”“Ya Kak, Insya Allah saya siap.”“Alhamdulillah, segera kita agendakan waktu untuk taa’ruf ya.”“Insya Allah Kak.Singkat dan cepat. Begitulah proses perkenalan kami via proposal ta’aruf. Bukan hanya aku yang memutuskan dengan cepat, bahkan pria dalam proposal itu pun sama. Melihat lembaran pertama pada proposalku membuat dia langsung menghubungi ustadz pengajiannya.“Ustadz, yang ini oke Ustadz.”“Benar? Subhanallah, langsung kita proses ya.”Ternyata kami sama-sama memiliki kesamaan di awal, ya cepat dalam memutuskan sesuatu. Berlanjut ke proses ta’aruf, semuanya pun berjalan cepat.

Tak ada pertanyaan-pertanyaan nyleneh dari masing-masing kami. Semuanya biasa dan umum ditanyakan. Hanya ada satu pertanyaan yang langsung ditanyakan guru mengajiku melalui telepon saat itu padaku.“Lis maaf ya, Kakak harus sampaikan ini. Kami juga tidak tahu dengan pasti, gosip yang beredar, calon suami Lis itu lebih senang akrab dan berdekatan dengan pria. Bagaimana? Tapi sekali lagi sejauh ini kami belum punya bukti, masih dugaan saja.”“Oh, ya Kak. Tidak apa-apa, Insya Allah saya siap.” Entah kenapa aku lebih mempercayai hatiku yang diam-diam sudah bersimpati pada saat pertama kali membaca biodata sederhana lelaki yang akan menikahiku itu. Hingga perkataan orang-orang dekatku pun tak kuabaikan lagi.

Lis, yakin mau menikah dengan pria itu? Coba lihat baik-baik, wajahnya sudah sangat tua, dan orangnya sedikit tertutup. Yakin Lis?”“Ya, yakin.” Sahutku mantap kepada semua orang. Sekali lagi, aku percaya pada kekuatan cinta yang telah mengikatku dalam pandangan pertama. Dengan bekal keyakinan cinta yang telah datang menghujam di hatiku sejak awal,  kami melangsungkan pernikahan sederhana. Ya, hanya dihadiri beberapa kerabat keluarga. Undangan pun kudesain sendiri apa adanya. Kami memang bersepakat menggelar acara sederhana, karena selain biaya yang memang kurang mampu, ternyata kami juga memiliki selera yang sama, tidak suka dengan suasana glamour dan pesta yang terlalu meriah. Usai dipersunting lelaki bernama Bram, aku diboyong pindah ke Pekanbaru.

Kami tinggal di sebuah kontrakan kecil yang juga milik orang tua angkat suamiku. Aku bekerja disebuah sekolah Islam yang menyita waktuku hingga sore hari. Sementara suamiku mengajar disebuah SMA di kotaku. Hari-hari yang meletihkan kami lalui. Pagi aku harus bangun lebih awal untuk menyiapkan semuanya, termasuk bekal makanan untuk suamiku. Setelah itu kami akan berpisah hingga sore hari untuk tugas dan pekerjaan masing-masing. Malam hari menjadi waktu yang singkat kebersamaan kami. Ya maklumlah, terkadang pekerjaan sekolah yang begitu menyita waktu harus kubawa ke rumah. Belum lagi pekerjaan domestik lain yang juga harus dikerjakan. Hari ahad menjadi hari istimewa untuk kami. Hari inilah kami bisa menghabiskan waktu seharian.

Hampir satu tahun kami menjalani rutinitas seperti itu. Dan aku tetap berupaya menjadi istri terbaik untuk suamiku. Namun beberapa waktu belakangan ini, suara-suara tetangga kudengar begitu berisik membincangkan suamiku. Ada yang mengatakan suamiku membonceng perempuan lain, ada juga yang menyebut suamiku berciuman dengan seorang pria di dalam rumah. Sering ku klarifikasi langsung kepada suamiku, tapi tentu saja jawaban yang kudapatkan ‘tidak’ dari suamiku. Sebagai wanita, jujur saja aku sedikit banyaknya percaya dengan apa yang dikatakan orang. Tapi aku coba menangkalnya dengan akal sehat. Ya, lagi-lagi karena aku mencintai suamiku.

Maka kukatakan pada banyak orang, aku lebih mempercayai apa yang dikatakan suamiku dibanding tuduhan-tuduhan orang tanpa bukti. Diam-diam suamiku tampak marah padaku. Karena terkadang sedikit banyaknya sikapku berubah. Jika mendengar ucapan orang, aku seperti ingin marah pada suamiku. Lalu emosiku terkadang malah bersambut emosi yang sama dengan suamiku. Akhirnya kupilih mengalah. Aku diam, aku merenung apa yang salah dengan sikapku. Karena suntuk di rumah, terkadang aku lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerja. Sisa waktu di sore hari terkadang kugunakan untuk menuntaskan pekerjaanku di sekolah. Hingga di suatu sore yang cukup melelahkan, aku tiba di rumah saat magrib tiba. Ku buka pintu perlahan, rumahku sepi. Hanya ada dua cawan gelas tergeletak di meja.

Seperti ada tamu yang datang. Kulihat ke kamar, suamiku tengah tertidur. Ia seperti kelelahan. Aku berjalan perlahan ke teras belakang rumah. Di sana sepeda motor suamiku terparkir. Motor itu terparkir agak jauh dari pekarangan rumah. Lalu kudatangi dengan niat untuk memindahkannya. Aku teringat semalam meletakkan resi pengiriman barang daganganku ke dalam jok motor suamiku. Resi itu harus disimpan untuk bukti pada konsumen. Lalu kubuka jok motor. Ada benda aneh yang membuat kepalaku langsung berputar. Pakai dalam wanita (maaf) dengan beberapa bagiannya yang masih basah dan berlendir. Mendadak kepala pitam terasa akan jatuh. Aku berjalan sambil tertatih. Aku duduk di kursi menetralkan pikiranku. Segelas air putih kuteguk. Pelan-pelan aku berjalan ke kamar.

Suamiku sudah tak ada di sana. Rupanya dia tengah shalat magrib. Usai shalat kulihat wajahnya sangat gembira. Belum sempat aku berbicara menanyakan perihal benda yang kutemukan tadi, lelaki itu langsung bicara singkat padaku.“Lis, ini uang untuk beli baju bulan ini ya, sudah tiga bulan kan nggak beli baju. Pakai uang ini. Abang mau pergi ke rumah teman sekarang. Pulang mungkin sekitar jam 10 malam. Nggak usah ditunggu, Abang bawa kunci sendiri.” Tak kujawab kalimat itu. Aku membiarkan lelaki itu pergi menaiki motornya. Ada air mata perih yang mengalir di sudut mataku. Ada sebak yang teramat sangat di dadaku. Tapi aku tak tahu hendak kuungkapkan pada siapa. Apakah artinya benda-benda yang kutemukan tadi, apakah aku salah lihat, atau ada apa dengan suamiku? Lalu kemana dia pergi.

Sehabis shalat isya kusempatkan tilawah sebentar. Karena kantuk yang terangat sangat, aku tertidur lelap. Belum lama rasanya aku memejamkan mata. Tiba-tiba aku mendengar suara ketukan beruntun dari pintu belakang. Terdengar suara yang begitu ramai. Seperti hiruk pikuk. Aku bangkit, setelah merapikan jilbab dan pakaian, aku bergegas membuka pintu. Serombongan warga kulihat menerobos masuk ke dalam rumah. Seseorang yang paling dihormati diantara mereka mendekatiku. Wajah mereka serius bicara padaku.“Nak Lis, kami mohon maaf sekali sebelumnya. Tapi kami sudah tidak bisa berdiam diri lagi. Kami warga di sini tadi siang memergoki suami Nak Lis sedang melakukan hubungan intim dengan seorang pria dan wanita, dalam sehari ini dua kali sekaligus.

Kami mohon maaf sekali karena dengan terpaksa kami harus mengusir Nak Lis dan si Bram dari kontrakan ini. Warga akan membantu pengemasan barang-barang Nak Lis. Mala mini juga Nak Lis dan Bram harus tinggalkan kontrakan ini. Kami tak mau bencana maksiat terjadi di tempat kami.”Seperti halilintar yang menghantam ke wajahku. Pernyataan Pak RT tadi membuat tubuhku terjajar ke belakang. Seorang ibu-ibu menahan tubuhku agar tak terjatuh. Aku berusaha cepat menguasai diri.“Maaf Pak, saya tidak bisa terima kalau diusir begitu saja. Bapak ada bukti?”“Kami punya banyak bukti Nak Lis.” Seorang pria muda maju ke depanku sambil membawa sebuah kamera DLSR hitam.

Diputarnya sebuah rekaman yang membuat aku terjatuh ke tanah. Dua orang pria yang sudah sangat kukenal sedang melakukan adegan tak senonoh dan menjijikkan. Ya, Allah, apakah ini bukan mimpi? Apakah ini kenyataan? Aku tak percaya dengan semua ini.Beberapa orang warga yang mengerti dengan keadaanku langsung merangkul dan membimbingku duduk dan menenangkan diri. Beberapa orang lainnya mengemas barang-barangku. Di luar kudengar suasana lebih heboh. Suara caci maki dan bentakan warga ku dengar begitu keras terdengar.“Ada apa di luar Pak?”“Maaf Nak Lis, itu warga yang marah ke Bram. Sebaiknya Nak Lis dan Bram segera tinggalkan rumah ini sebelum warga mengadili kalian. Saya akan antarkan Nak Lis mau kemana?”

Air mataku tak tertahan lagi. Aku menangis sejadi-jadinya. Beberapa perempuan yang mengerti perasaanku coba menenangkan aku. Lalu beberapa menit kemudian, aku seperti tak sadar lagi saat warga menggiring aku dan Bram. Tujuanku cuma satu malam itu, rumah kakak kandungku.Keesokan harinya adalah hari yang paling perih dalam kehidupan rumah tanggaku. Sejak matahari terbit kudengar ocehan kakak kandungku kepada suamiku. Dan Bram pun tak mau disalahkan begitu saja. Ia menjawab dengan beragam cara agar kakak kandungku percaya bahwa semua yang dituduhkan padanya adalah fitnah semata.

Hatiku hancur, aku tau suamiku berdusta di hadapan kakakku. Tapi aku seperti tak punya daya untuk mengatakan bahwa aku telah melihat buktinya kepada kakakku. Terbayang semua hal-hal buruk yang akan terjadi di keluargaku. Semua orang pasti saat ini sedang berpikir aku akan menggugat cerai pada suamiku. Ya, mungkin saja itu kulakukan, dan warga pun pasti akan mendukungku. Tapi tiba-tiba aku teringat seraut wajah ayahku di kampung halaman. Ia sangat senang saat aku menikah dengan Bram. Karena itu artinya ia sudah lepas tanggungan merawatku. Ia menceritakan pada banyak orang tentang kebaikan-kebaikan Bram. Pendek kata, Bram di mata ayahku adalah pria sempurna. Aku tak bisa membayangkan bagaimana penyakit jantungnya akan kambuh jika mendengar semua ini terjadi.

Hampir tiga hari lebih aku berdiam diri. Aku berpikir tentang sebuah keputusan hidup yang akan kuambil. Guru pengajian pekananku dan Ustadz yang telah menjodohkan kami secara serius bicara padaku. Memberikan pertimbangan dan masukan tentang kemungkinan untuk bercerai.“Lis, secara syariah ini sudah memenuhi syarat untuk sebuah perceraian. Cerai memang bukan hal yang baik, tapi itu jauh lebih baik jika Bram kelak akan mengulanginya. Ini penyakit Lis, dan dia tidak mengakui kesalahannya. Tetap ada kemungkinan akan terulang lagi. Pikirkan baik-baik. Kalau pun bercerai, Lis masih bisa melakukan semuanya. Kami akan membantu kehidupan mu. Bram memiliki kelainan seksual yang sulit disembuhkan.

Mumpung sekarang belum punya anak, masih sangat realistis untuk mengambil keputusan.” Begitu kata guru pengajianku. Aku tak bisa menyalahkan kata-kata mereka, tentang dorongan mereka untuk aku menggugat cerai. Tapi sekali lagi, aku teringat tentang kekuatan cinta. Lalu dengan berlinang air mata, kuajukan pertanyaan yang membuat guru mengajiku itu tertegun menatapku.“Kak, apakah salah seorang istri yang ingin coba memaafkan kesalahan suaminya?” Itulah pertanyaan yang tak masuk akal di kebanyakan kepala wanita. Aku dianggap perempuan lemah nan bodoh dalam menghadapi sikap suami. Semua orang berpikir perceraian lebih baik untuk aku dan suamiku. Tapi aku mengambil keputusan di luar logika. Di luar perasaan yang umum dirasakan wanita. Kuputuskan untuk memaafkan suamiku dan memberinya kesempatan kedua untuk menjadi lebih baik.

Aku percaya, kekuatan cintalah yang akan merubah suamiku nantinya. Akan kutunjukkan padanya bagaimana seorang wanita dengan kekuatan cintanya mampu merubah yang mungkin sangat sulit dirubah dari suaminya.Saat mengisahkan cerita ini, aku selalu memohon doa kepada pembaca, agar Allah memberikan petunjuk pada suamiku untuk kembali kepada fitrahnya sebagai laki-laki. Membuang jauh-jauh sikap binatang yang ada dalam nafsunya. Semoga Allah memudahkan suamiku untuk kembali ke jalan yang benar. Untuk mendukung azzamnya kembali ke jalan yang benar, kami memilih pindah rumah ke lokasi yang jauh dari lokasi tinggal kami sebelumnya. Jauh dari orang-orang yang mengetahui aib di keluarga kami.

Aku memang tak kuasa secara fisik untuk merubah prilaku suamiku. Tapi aku masih punya Allah. Aku masih punya doa yang kuat untuk mengubah prilaku suamiku. Di malam-malam yang hening aku selalu menjadikan suamiku sebagai prioritas dalam doaku. Aku percaya tak ada yang mustahil di dunia ini jika Allah berkehendak. Meski orang lain menuduh buruk, aku yakin cinta yang akan membuatku bertahan dan tetap teguh dalam pernikahan ini. Hingga akhirnya semakin hari aku semakin optimis melihat perubahan pada sikap suamiku. Ia terlihat lebih rajin dengan ibadah-ibadah. Aku berdoa, inilah jawaban dari Allah atas doa-doaku. Oleh: Nafi’ah Al Ma’rab (Seperti dikisahkan langsung oleh Lis (bukan nama sebenarnya) yang mengalami langsung kejadian tersebut).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar