Selasa, 03 Desember 2019

Cerita sedih bersama ayah


Belum tidur, Nak?” suara yang masih terdengar begitu  tegas dan nyaris tanpa kelembutan. Aku terhenti sebentar dan menunda keinginan buang air kecil yang telah membangunkan tidurku. Mataku tertumbuk pada sosok jangkung yang tak lagi muda itu. Beberapa uban telah menyebar hampir ke seluruh kepala dengan ganasnya, kerutan kepala yang terukir dengan keras. Terlihat bahu hitam yang terkelupas karena harus berada pada suhu yang berbenturan, terpanggang oleh panasnya matahari, lalu berendam dalam dinginnya air sungai. Satu baskom besar yang masih mengepul uap panas menjadi perhatian besar buatku. Sesekali buya memasukkan handuk dan mengelap di bagian kaki yang terlihat pucat dan tak biasa.“Buya sedang apa?” beliau tak langsung menjawab seperti biasa, aku pun tidak begitu menuntut jawaban. Jarang barisan kata yang keluar dari mulutnya, tapi sekalinya keluar, akan banyak petuah dan nasihat yang mengalir berlimpah ruah.

 Buya masih saja menggosokkan handuk ke pergelangan tangan dan kakinya. Pasti perih ketika kulit yang terkelupas itu bersentuhan dengan air panas dan kasarnya kain handuk. Tapi akan jadi masalah yang runyam juga jika buya tidak melakukan itu. Terlalu lama berendam di air dapat mengembangbiakkan jamur pada kulit yang lembab. Aku memutuskan untuk terus ke kamar mandi meninggalkan buya yang terlihat tak bergeming mendengar pertanyaanku. Baiknya aku mendiamkan saja dan tak perlu menden garkan, bukankah kita jarang terlibat dengan pembicaraan yang berarti? “Periksa kembali barang-barang yang akan dibawa besok, jangan sampai ada yang tertinggal.” Begitulah samar-samar pesan terakhir yang ku dengar di malam sebelum keberangkatanku.

Padahal baru beberapa pekan ku lihat Satpol PP lalu lalang menggeret, membawa paksa mesin pasir di sungai, tempat ayah dan kawan-kawannya mengais rezeki saban hari. Kala itu aku hanya dapat menahan genangan air mata. Adikku lebih riuh lagi. Ia mengeram sedih melihat ayah memegangi lengan-lengan petugas memohon untuk tidak  membawa semua bend-benda yang telah menghidupi kami belasan tahun. Aku sudah memutuskan untuk tak mengambil undangan masuk perguruan tinggi negeri itu.  Sudah menjadi nasib bagi si sulung untuk ‘membiarkan’ para adik mencicipi pendidikan di kampung kami. “Ajo, tak usah dikuliahkan. Dia kan anak pernah jadi tak perlulah jauh-jauh ke kota.” Begitu yang ku dengar dari salah seorang mandeh sepulang berembuk perihal Satpol PP. “Tidak. Justru karena dia anak pertama dialah yang harus memulai sejarah, mambangkik batang tarandam. Dan selagi akal sehatku masih berjalan, anak-anakku harus bersekolah.” Tegasnya.

Dan di sinilah kami sekarang, di depan Bandara Internasional Minang. Umi sedari tadi hanya mampu memelukku tanpa berkata-kata. Beliau tengah menggendong adik bungsuku dengan wajah raut wajah tegas seperti biasa. Sudah waktunya, ku tarik sekuat tenaga koper yang beratnya hampir sepuluh kilogram itu. Namun sebelum sampai kakiku melangkah ke dalam bandara, tiba-tiba ada tangan yang menahan bahuku lalu kemuIan memelukku dengan erat. “Selamat berjuang gadis ayah yang paling keras kepala, makanlah yang banyak di sana, jangan sampai kurus pula badanmu itu. Kau yang pertama kali mencoba bagaimana rasanya naik pesawat pertama kali.” Ayah mengecup keningku dan menghapus air mataku yang sudah tumpah ruah sedari tadi. Tak peduli lagi seberapa banyak orang yang melihat kami.“Belum tidur, Nak?” suara yang masih terdengar begitu  tegas dan nyaris tanpa kelembutan.

Aku terhenti sebentar dan menunda keinginan buang air kecil yang telah membangunkan tidurku. Mataku tertumbuk pada sosok jangkung yang tak lagi muda itu. Beberapa uban telah menyebar hampir ke seluruh kepala dengan ganasnya, kerutan kepala yang terukir dengan keras. Terlihat bahu hitam yang terkelupas karena harus berada pada suhu yang berbenturan, terpanggang oleh panasnya matahari, lalu berendam dalam dinginnya air sungai. Satu baskom besar yang masih mengepul uap panas menjadi perhatian besar buatku. Sesekali buya memasukkan handuk dan mengelap di bagian kaki yang terlihat pucat dan tak biasa.“Buya sedang apa?” beliau tak langsung menjawab seperti biasa, aku pun tidak begitu menuntut jawaban. Jarang barisan kata yang keluar dari mulutnya, tapi sekalinya keluar, akan banyak petuah dan nasihat yang mengalir berlimpah ruah.

 Buya masih saja menggosokkan handuk ke pergelangan tangan dan kakinya. Pasti perih ketika kulit yang terkelupas itu bersentuhan dengan air panas dan kasarnya kain handuk. Tapi akan jadi masalah yang runyam juga jika buya tidak melakukan itu. Terlalu lama berendam di air dapat mengembangbiakkan jamur pada kulit yang lembab. Aku memutuskan untuk terus ke kamar mandi meninggalkan buya yang terlihat tak bergeming mendengar pertanyaanku. Baiknya aku mendiamkan saja dan tak perlu menden garkan, bukankah kita jarang terlibat dengan pembicaraan yang berarti? “Periksa kembali barang-barang yang akan dibawa besok, jangan sampai ada yang tertinggal.” Begitulah samar-samar pesan terakhir yang ku dengar di malam sebelum keberangkatanku.

Padahal baru beberapa pekan ku lihat Satpol PP lalu lalang menggeret, membawa paksa mesin pasir di sungai, tempat ayah dan kawan-kawannya mengais rezeki saban hari. Kala itu aku hanya dapat menahan genangan air mata. Adikku lebih riuh lagi. Ia mengeram sedih melihat ayah memegangi lengan-lengan petugas memohon untuk tidak  membawa semua bend-benda yang telah menghidupi kami belasan tahun. Aku sudah memutuskan untuk tak mengambil undangan masuk perguruan tinggi negeri itu.  Sudah menjadi nasib bagi si sulung untuk ‘membiarkan’ para adik mencicipi pendidikan di kampung kami. “Ajo, tak usah dikuliahkan. Dia kan anak pernah jadi tak perlulah jauh-jauh ke kota.” Begitu yang ku dengar dari salah seorang mandeh sepulang berembuk perihal Satpol PP. “Tidak. Justru karena dia anak pertama dialah yang harus memulai sejarah, mambangkik batang tarandam. Dan selagi akal sehatku masih berjalan, anak-anakku harus bersekolah.” Tegasnya.

Dan di sinilah kami sekarang, di depan Bandara Internasional Minang. Umi sedari tadi hanya mampu memelukku tanpa berkata-kata. Beliau tengah menggendong adik bungsuku dengan wajah raut wajah tegas seperti biasa. Sudah waktunya, ku tarik sekuat tenaga koper yang beratnya hampir sepuluh kilogram itu. Namun sebelum sampai kakiku melangkah ke dalam bandara, tiba-tiba ada tangan yang menahan bahuku lalu kemuIan memelukku dengan erat. “Selamat berjuang gadis ayah yang paling keras kepala, makanlah yang banyak di sana, jangan sampai kurus pula badanmu itu. Kau yang pertama kali mencoba bagaimana rasanya naik pesawat pertama kali.” Ayah mengecup keningku dan menghapus air mataku yang sudah tumpah ruah sedari tadi. Tak peduli lagi seberapa banyak orang yang melihat kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar