Selasa, 03 Desember 2019

Romansa indah bersamamu


Roman senja akhir-akhir ini kembali terlihat janggal. Sepotong langit di balik pohon Mahoni  memperlihatkan warna sore yang tak biasa. Cahaya kuning kemerahan memantul padanya, menyapu setiap lapis jalanan aspal. ‘Langit sakit’, begitu yang orang kampungku bilang kalau warna langit itu muncul setiap petang. Bila sore tiba, sekelebat burung yang entah apa namanya datang bergerombol dari arah timur. Mereka melintasi gedung di sepanjang jalan raya. Gagakkah? Warnanya hitam pekat, melekat pada batang tubuh burung itu. Heran? mereka selalu saja rutin beterbangan tepat di pukul enam sore. Entah pertanda apa. Perasaanku tak enak.

Terutama saat waktu beranjak malam dan mulai berganti menjadi hari baru.Apa sore ini aku berkunjung saja ke kedai kopi milik Bang Rakai? Barangkali Ia mau membayarku dengan setangkup roti dan susu panas seusai mengelap beberapa meja yang berlepotan tumpahan kopi. Perut menggumamkan orkestra mini dan tak mau lagi bekerjasama menahan lapar. Sudah tiga bulan terakhir, tak lagi ku tanyakan kabar rumah. Padahal sudah dua minggu lebih aku tak memegang barang selembar uang pun.Aku tak berani lagi meminta pada rumah. Semester yang tak lagi muda mengekangku untuk jangan merengek menanyakan uang.

Lusa lalu memang aku masih memegang tabungan lima juta. Memang tak mudah mengumpulkan uang lewat kerja penulis freelance yang ku jalani rutin saban subuh hari. Namun melihat Latif yang bergelimang darah dihantam sepeda motor ketika menghantarkan terbitan majalah kampus ke rumah dinas rektor waktu itu, hatiku limbung.“Bagaimana aku bisa membayarmu, Bang?Bagaimana dengan makanmu,” ratap Latif yang malah berbalik kasihan padaku ketika baru saja terbangun dari jahitannya  “Tenang saja, nanti ku kabarkan pada Mamak di kampung. Kalau sekadar makan, aku masih ada, Bujang,” ujarku menghiburnya.

Padahal setengah mati aku mengucap istighfar karena harus berbohong dua kali. Lima juta jelas sudah menjadi perhitunganku untuk biaya wisuda bulan depan. Menelepon rumah juga tak mungkin ku lakukan. Tekadku sudah bulat untuk tidak menelepon sampai keputusan wisuda terlaksana. “Dari kedai kopi Rakai lagi bang?”“Iya, Naf.”Nafsih menggelengkan kepala.“Kenapa tak menelepon ke rumah saja. Jujurlah pada Mamakmu itu jika sudah tak ada lagi yang bisa dimakan.Sudah puluhan kali Ia mengatakan itu. Aku tahu jika Ia tak bermaksud buruk dengan mengatakan hal yang sama macam minum obat.

Tapi sudah kukatakan padanya “Aku tak ingin menyusahkan Mamak, sebagai anak pertama aku harus tahu diri.” Jawabku. Wardah masih butuh biaya untuk pesantrennya. Belum lagi Karim yang masih butuh susu formula karena ASI Mamak terkadang kering dan tak berair lagi. Mahfum, karena sudah jarang sekali buah terbeli. Ikan-ikan Lhoksumawe sepertinya enggan untuk mampir kala bulan purnama bertengger ke di atas permukaan Samudera Hindia. Karenanya para nelayan harus memutar otak sampai banting setir mencari tambahan lain. Jangan menganggap menelepon Mamakmu hanya karena perkara duit saja.

Tak baik mendiamkan orang tua.”Nanti saja, setelah Pak Munir menandatangani skripsiku, Naf. Aku hanya ingin langsung memberi kabar gembira pada Mamak.” Jawabku mantap. Nafsih membalikkan badan dan kembali menyetrika kemejanya. “Terkadang banyak anak yang lupa pentingnya menanyakan kabar di rumah. Aku takut kau terlambat menyadarinya.” Dadaku berdesir setelah Nafsih menyelesaikan kalimatnya. Peringatan?“Sudah kau bawa tasbih Abah mu itu Nak?”Aku mengangguk pelan. Ada perasaan yang tak tergenggam saat Mamak memasukkan gulai kentang teri yang telah dikeringkan.

Jangan lupa untuk selalu berkabar. Teleponlah Mamak lewat nomor Uwakmu. Bila sibuk kuliah, kabari besoknya, atau lusa bila kau sempat.”Wanita itu terus menyesakkan barang-barang ke dalam tas yang tak lagi muat. Sekantong biji kopi pun terlihat begitu menderita di antara kitab-kitab yang di jejal paksa ke dalamnya. Mamak tak menatapku sama sekali. Tak ku hentikan pula tangan cekatan dari perempuan berwajah lembut itu.  Meski tak ada raut kelam, matanya begitu kuyu menyatakan kesedihan.“Minumlah obat, kalau tak ada uang langsung hubungi Mamak, sajadah sudah kau bawa? Jangan terlalu sering bergadang..”

Mak,” aku tersenyum cerah. Hanya ini yang bisa kulakukan saat ini. “Aku baik-baik saja, Mak. 4 tahun dari sekarang tunggulah aku membawa toga pulang. Apa yang selalu Mamak ucap padaku saban maghrib setiap kami mengaji? Aku akan jadi guru terbaik se-Lhoksumawe nanti.” Tak ada lagi Mamak yang memasukkan barang-barang ke dalam ranse; bawaanku. Perempuan itu telah mendekapku dengan erat.Ini kali kedua Mamak memelukku seerat ini. Pelukan pertama adalah saat aku menemukan Abah yang tersungkur di sebelah sampan dengan tubuh beku sedingin es. “Ceria betul wajah kau, Bujang.”“Ah, Abang ini bisa saja,”jawabku sambil terus mengelap meja.

Sudah kau dapatkan tanda tangan si dosen angker itu itu?” Bang Rakai masih menimpaliku dengan muka cengegesan.“Minggu depan aku sudah bisa memegang ijazah, Bang.”“Mantap,” Bang Rakai berlalu dan terhenti setengah jalan. “Sudah kau telepon orang rumah, Bujang?”Aku tertegun sejenak. “Pulsaku habis Bang. Besok pagi ku telepon.” Dan sore pun kembali seperti biasa. Langit sakit.“Nomor yang anda tuju sedang sibuk, silahkan hubungi lagi atau tinggalkan pesan.”Telingaku berdenging. Sejak jam 8 tadi ku hubungi no Uwak, tapi tak sekalipun ada tanda-tanda akan diangkat.“Pukul 7 pagi tadi bang.

Habis Banda Aceh diterpa air bah!”Jantungku membuncah. Apa maksudnya? Mataku nanar mengikuti pengunjung kopi yang sudah bersidekap di depan televisi. Lhoksumawe pun disebut-sebut berkali-kali. Tanganku gemetar meraba-raba meja, mendekati televisi yang telah dikerubungi orang-orang di kedai Bang Rakai. Seletingan-seletingan bangunan yang digulung ombak puluhan meter terpampang di dalamnya.Nafasku sesak dan mataku pun kebas. Terus ku hubungi nomor Uwak. Namun  kalimatnya tetap sama. “Nomor yang anda tuju sedang sibuk. .”Tak ku dapat lagi kabar rumah dari Mamak sejak saat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar