Selasa, 03 Desember 2019

Seceguk kopi manis


Aku adalah masa lalu yang terasing di senja sunyimu. Setiap detik kini hanyalah keheningan. Diam menemaniku sepanjang malam. Kebahagiaan semakin membagi jarak antara kita. Kau, seperti hilang dalam paruh waktu yang kujalani. Padahal kau ada di bilik itu. Kau ada serupa tak ada, kau bicara serupa tak bicara. Kau bungkam sepanjang hari. Entah apa yang kau pandangi pada secangkir kopi yang kusuguhkan di setiap pagi. Kau menatapinya, aku tak tau apa yang sedang kau cerna dalam pekatnya paduan gula dan serbuk hitam itu.

Aku memandangi mu tanpa kata. Sebab percuma saja aku berkata. Kau telah kehilangan kata. Aku hanya memeram kata dalam bisu. Kulihat kau meneguk kopi itu, lalu kau pandangi lagi. Tak ada lagi senyum ceria setahun lalu yang menyatukan kita di setiap pagi, di depan teras rumah kita ini. Lalu kau pikir kini aku bisa apa?Tuhan telah menyatukan takdir hidup kita. Kau dan aku dalam satu bahtera, menjadi sepasang kekasih di setiap waktu. Lukaku adalah lukamu. Senyumku menjadi senyummu. Cerita di musim yang tak pernah sedih. Kau dan aku, dalam pagutan rindu di mihrah cinta yang kita cipta. Ingat kah kau lagi, setahun lalu kita sering bermimpi di sepanjang hari. Kau yang paling sumringah dengan mimpi-mimpi itu.“Manah, kapan rumah kita ini tak bertungkat lagi?“Sabar la Bang, ada rezeki kita bisa punya rumah tak bertungkat.”

Itu mimpimu yang selalu kukenang dalam diam. Lucu, kau ingin punya rumah batu. Padahal kita hanya penanak sagu. Tapi kau kata itu mimpi kita. Mimpi yang akan jadi nyata. Lalu kau ajak aku berdoa merayu Tuhan. Di malam-malam yang temaram, saat semua mata lelap. Kita bangun mengemis rezeki di kegelapan. Aku menitikkan butir-butir kebahagiaan. Betapa kita terbenam dalam endapan rindu dan cinta pada Dia. Kau, lelaki syurga yang mengajariku bersyukur di bumi Tuhan.
Kau benar, Tuhan tak pernah menghampakan. Dia menjawab doa-doa kerdil kita. Suatu hari saat hujan gerimis itu datang, rezeki pun bertandang ke rumah kita. Midar datang tergopoh-gopoh membawa koran harian hari itu.

Dia kegirangan. Aku tak tau kenapa begitu. Rupanya dia melihat namaku. Aku ditulis di koran itu sebagai satu-satunya peserta calon pegawai negeri yang lolos dari jurusanku. Aku bersujud syukur, seperti yang biasa kau ajarkan. Lalu aku menunggu mu pulang di bawah gubuk beratap pelepah pisang. Kau pun sama seperti ku saat mendengar kabar itu. Kau bersujud di guyuran hujan. Lalu kita berteriak-teriak memuji Tuhan. “Aku lulus Bang, aku lulus.”“Ya, kita akan punya rumah tak bertungkat, Manah. Alhamdulillah Ya Allah.”Kita terus saja berteman kebahagiaan. Hingga hari-hari berubah sunyi. Aku tak tau bermula dari mana kesunyian yang singgah itu.

Aku hanya sadar ketika kita tak lagi seceria dulu saat duduk berdua di teras rumah menemani gerimis yang turun. Ada yang hilang dalam setiap abjad katamu. Tapi aku tak tahu. Apakah yang hilang itu. Kau semakin betah berkalang sepi. Senyum mu telah kau benamkan dalam bantal guling yang menemani mu sepanjang hari. Saat aku pergi kau hanya tertidur, saat aku pulang kulihat kau pun masih di tempat yang sama. Lalu kau pikir aku bisa apa? “Midar, aku salah apa?” aku hanyalah perempuan yang tak mampu menahan isak. Dan Midar, dialah sahabat yang selalu hadir dalam setiap rangkaian takdir hidupku. “Sabar lah Manah, hidup rumah tangga sememangnya begitu, bersabar lah. Aku yakin kalian akan tetap bahagia.”

Aku selalu mendengarkan nasehat Midar. Tapi entah kenapa tidak untuk kali ini. Aku mulai was-was. Perempuan-perempuan usil mulai bercakap-cakap di belakangku. Mereka bergosip soal rumah tanggaku. Aku menutup telinga. Tapi hatiku tak bisa menyangkal. Aku khawatir, aku benar-benar khawatir. Benarkah kerinduan yang selalu kau ungkap dulu telah tiada lagi di hatimu. Lalu yang tersisa kini hanya kesunyian yang kau berikan pada ku saban malam. Aku mengajak mu bertukar kata. Tapi lagi-lagi, kau telah kehilangan kata. Apakah bahtera ini bisa kita teruskan dalam keheningan? Lalu bagaimana dengan sangkaku pada mu?

Puncak hilangnya rindumu padaku kutemukan pagi ini. Secangkir kopi itu sama sekali tak kau sentuh lagi. Airnya tetap setinggi tujuh sentimeter. Dan sendok kecil itu sama sekali tak begerak. Kau hanya menatapi bayang wajahmu di air yang pekat itu. Kau seperti mencari sesuatu, tapi enggan kau tanyakan padaku. Lamat-lamat bayangmu menghilang dari genangan air tujuh senti. Baru kusadari aku telah sendiri. Kau pergi dengan kesunyian yang terus melekat di wajahmu. Ingin aku menarik lenganmu lalu menamparmu, memakimu sesukaku.

Bukan kah aku telah mewujudkan mimpi-mimpi kita. Tungkat rumah kita telah kuganti dengan porselen mewah bermotif indah. Panci-panci hitam di dapur telah berganti dengan keramik mengkilap berharga mahal. Tapi kau tak hargai itu sama sekali. Kau mengurungku dalam luka. Kau membuangku dalam jurang kerinduan yang mendalam. “Manah, maaf aku pagi-pagi kemari.”“Tak apa Midar, ada yang penting tampaknya?”“Mungkin penting, mungkin juga tidak.”“Ada apa Midar? Katakan lah”“Tadi aku hendak ke kedai sebelah, tak sengaja aku nampak suami kau di kedai Murni.”“Dia memang biasa bertandang kesana, kenapa?”“Tapi ini nampaknya lain Manah, mereka berpelukan.”

Kepalaku seperti dihujani batu. Mataku nanar, kepalaku tiba-tiba pusing tanpa sebab. Tapi aku menguasai diri. Aku ingat Tuhan sedang menyaksikan ini. Lalu kukuatkan kakiku berdiri. Aku menatap Midar tak karuan.“Midar, kau tau kan? Maaf cakap, kalau diukur wajah, si Murni jauh di bawahku. Jadi kenapa kau bisa datang membawa gosip begini?” aku belajar untuk lebih mempercayaimu suamiku. Bukan kah cinta telah menyatukan kami bertahun-tahun, dan aku mencoba untuk setia.“Aku tak bohong Manah, itulah aku pun tak paham juga kelakuan suami kau tu. Si Murni maaf cakap bukan cantik.”

Aku tak ingin terjebak dalam perbincangan semu bersama Midar. Perempuan itu bergegas kusuruh pulang. Aku duduk memandangi secangkir kopi setinggi tujuh senti. Benarkah tak ada lagi cinta di hati pria penikmat kopi ini untuk ku? Bukankah dia yang mengajarkanku bersetia pada bahtera dan cinta Tuhan. Ya Tuhan, aku ingin membenamkan luka di hatiku. Aku ingin menjadi karang yang gagah menghadapi semua ini. Pelan-pelan kureguk kopi tanpa cinta itu, sedikit demi sedikit hingga tiada sisa. Aku memejamkan mata. Tiba-tiba aku tersentak kaget. Lidahku kugigit. Ada yang berbeda dengan rasa kopi ini. Pahit, sangat pahit.

Aku meludah, tapi rasanya tetap pahit. Kepalaku pusing, tapi kupaksakan berjalan menuju kedai Murni. Aku ingin mengatakan sesuatu kepada pria yang sangat kucintai. Tapi aku hanya menahan lunglai tubuhku saat tiba di kedai papan reot itu. Ada perbincangan yang membuat kepalaku kian terhuyung.“Murni, sedap sekali kopi buatan kau ni. Andai Manah bisa buat kopi selezat ini.”“Andai Manah bisa buat kopi selezat ini, Abang tak mau datang kesini?”“Mungkin tidak, tapi mungkin iya, karena dia terlalu sibuk. Abang kesepian.” Sesaat kemudian terdengar tawa renyah dua orang insan dari dalam kedai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar