Selasa, 03 Desember 2019

Seperti mutiara yang hilang


Dulu mungkin aku tak pernah alpa menyebut namamu menjelang tidurku, tetapi semenjak hari kesedihan itu, aku telah membunuh mu dari anganku. Bahkan sekedar melihat abzad deretan namamu pun, aku tak mampu lagi. Aryanti, aku mengenal mu di awal bangku sekolah. Kau perempuan berambut gonjes bermata bening. Wajahmu putih serupa bengkoang yang telah dikelupas dari kulitnya. Kau perempuan tercantik dalam hidupku yang telah menempati seluruh ruang-ruang terdalam di hatiku. Saat dengan malu-malu kau membalas sms cintaku, aku benar-benar merasa melambung ke langit ke tujuh.

Aku lelaki berkulit legam dengan kemampuan akademis pas-pasan akhirnya kau terima sebagai insan yang istimewa di hatimu. Alasannya sangat lucu, kau bilang begini, ‘Daniel, kau tampak sebenar-benar laki-laki, kau sangat gagah, kau benar-benar macho, karena itulah aku memilih mu sebagai kekasih.”Tadinya aku ragu dengan alasan mu ini. Lalu bagaimana jika tiba-tiba kemachoan ku ini hilang karena kurangnya gizi yang ku makan? Apa lantas kau akan meninggalkan ku juga? Tetapi keraguanku itu tertepis. Kau mencintaiku dengan hatimu, bahkan mungkin seluruh jiwamu. Di sebuah pertandingan basket di cuaca yang panas, kau datang pada ku hanya sekedar untuk memberikan tissue pengelap keringat di wajahku.

Aku terharu, kau melambai-lambai dari kejauhan, kau takut panas, sehingga kau berlindung di sebatang pohon mahoni yang rindang. Kau terus memberiku semangat sampai akhirnya aku memenangkan pertandingan itu bersama teman-teman kita yang lain. Aku semakin macho di matamu. Dan kau pun semakin mengalungkan hatimu ke hatiku. Aryanti, kita tak hendak menyudahi kisah cinta ini dengan air mata, seperti kebanyakan pria dan wanita di usia kita. Kita hanya berpikir pada satu kata, pelaminan. Ya, kau dan aku sudah sama-sama memimpikannya meski baju kita masih berwarna abu-abu.

Orang-orang berbicara tentang pendidikan mereka setelah ini, ke kota mana, ke universitas apa, tetapi kau dan aku sama. Kita telah sama-sama jatuh dalam jerat-jerat cinta yang kian menggila. Yang ada di hati kita adalah tentang cerita-cerita di pelaminan, tentang kapan aku akan menjemput mu menuju kebahagiaan. Aryanti, bahkan sejenak saja aku tak bisa membuang namamu dalam lamunan. Kau lah pagi, siang dan malamku. Kau menghujani hari-hariku dengan cinta, hingga aku tak mampu hendak berkata apa. Maka kuberanikan diriku bertemu dengan orang tua mu, di senja yang sunyi, seperti cinta kita yang tak pernah kita beritahukan kepada hiruk pikuk.

Pak, saya mau melamar anak Bapak?”“Serius, kamu Le?”Serius dong Pak, saya memang belum punya pekerjaan tetap, tapi orang tua saya punya bengkel motor, saya akan kerja di sana. Aryanti biar lah saya bawa untuk tinggal bersama, saya Insya Allah bertanggung jawab Pak.”“Aryanti mau nikah sama kamu?”Aryanti tertunduk malu. Anggukan yang sangat pelan ia buat, tetapi itu sudah cukup melambungkan tubuhku ke langit ke tujuh. Alhamdulillah, aku diterima sebagai calon menantu. Aku bahagia dan sangat bahagia, seperti kebanyakan bujang lainnya yang akhirnya akan menamatkan petualangan cinta mereka. Dan kini aku mendapatkan pelabuhan yang sangat indah, Aryanti kekasih pujaan hatiku.

Aku dan Aryanti bersepakat menggelar pesta pernikahan yang sederhana. Kami tak menggelar pesta yang terlalu mewah. Cukup lah kami disandingkan di pelaminan dengan gemerlapan pakaian yang indah. Soal tamu-tamu itu urusan orang tua. Sebab toh teman-teman kami telah sibuk berpetualang ke dunia studi mereka. Undangan pernikahan kami lebih banyak dicibir, nikah dini mau jadi apa? Kerja pun belum ada. Aku menelan sendiri ucapan-ucapan teman-temanku itu. Tak hendak kusampaikan pada Aryanti, karena itu sama saja membunuh harapannya untuk hidup bersamaku. Kami cukup membincangkan kebahagiaan saja. Saat Mak Andam datang membawa sepasang pakaian pengantin adat berwarna merah keemasan, aku terharu. Kami benar-benar menjadi sepasang suami istri yang telah dihalalkan.

Daniel, kau bisa sendiri memakai pakaian mu kan? Aryanti sedikit ribet, biar Mak Andam yang bantu. Nanti untuk memakaikan keris dan hiasannya biar Mak yang pakaikan.”Aku telah sejak kecil memakai pakaian sendiri. Maka kukenakan pakaian-pakaian cintaku dengan cepat dan tanganku sendiri. Dalam beberapa menit aku berkaca di balik cermin, aku bukan hanya tampan tetapi juga diliputi kebahagiaan yang tak sudah. Aku berharap Aryanti pun secantik bidadari yang akan menemaniku di singgasana pelaminan. Aku bergegas menuju kamar rias pengantin Aryanti, sebab ia telah menjadi istriku, tak ada hal yang mengharamkan aku memasuki kamar itu.

Aku berdiri di depan pintu, mendengar suara adu mulut yang kurasa aneh.“Siapa kau sebenarnya?”“Bukan urusan mu, berani kau bicara siapa aku, maut akan bersama mu.”“Kau butuh berapa?”“Tidak aku, tidak mau. Kau penipu.”“Tidak ada ruginya bagimu, diam kataku. Lanjutkan tugas mu.”Aku tak sabar mendengar perdebatan itu, seketika ku dorong pintu yang lupa dikunci. Aku terhenyak melihat seorang Aryanti berbadan kekar dengan dada yang rata.“Daniel, kau ditipu, dia bukan Aryanti, dia Aryanto.”“Bagaimana mungkin?” aku memegang kepala seolah tak percaya.“Ini tidak benar, Daniel, aku Aryanti, aku istrimu. Perempuan ini telah berdusta. Aku, aku memang tidak memiliki payudara seperti pada wanita umumnya, aku…”

Tubuhku limbung ke belakang. Aku tak percaya, aku sungguh tak percaya dengan apa yang kusaksikan. Tiba-tiba aku merasa jijik dengan sentuhan Aryanti yang mengusap wajahku. Aku menepis tangan itu. Aku membuangnya jauh-jauh. Aku berlari ke luar kamar. Meninggalkan acara hiruk piruk pesta yang digelar. Aku tak hendak bicara pada siapapun tentang cinta yang telah ditipu. Biarlah Mak Andam yang menjelaskan semuanya. Aku berjalan menjauhi rumah itu, rumah yang tak akan pernah kukunjungi lagi, rumah yang tak akan pernah lagi ada dalam pikiranku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar